Kontribusiku Untuk Pendidikan Indonesia : Potret Pendidikan di Pedalaman

“Kontribusiku Untuk Pendidikan Indonesia”
Potret Pendidikan di Pedalaman
Oleh: Firdha Ustin
Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, setiap anak berhak mendapatkan senyuman kebahagiaan, senyuman setiap anak-anak negeri adalah masa depan bangsa ini. Pendidikan merupakan proses pembelajaran dari lembaga yang bertujuan untuk mendewasakan anak-anak sebagai subjek pendidikan. Belajar merupakan cara terbaik untuk dapat merasakan pendidikan, disana proses pembelajaran transfer ilmu terjadi, penanaman nilai-nilai, moral, dan etika sosialisasi dengan sesama teman dapat melatih kecerdasan emosional maupun spiritual mereka dan tentunya untuk masa depan mereka yang lebih baik. Hal ini akan mendukung kesuksesan anak dimasa depan.
Dengan pendidikan dapat merubah pola fikir menjadi lebih tahu, dan berperilaku sesuai etika. 
Potret pendidikan di daerah terpencil menjadi permasalahan sosial yang hingga kini belum bisa teratasi oleh pemerintah. Faktor geografis yang menjadi alasan tidak meratanya pendidikan di Indonesia,karena masih banyak anak-anak yang tidak bisa merasakan manisnya pendidikan. Keinginan anak-anak dipedalaman malah justru memilih bekerja diladang bagi orangtua yang bekerja sebagai petani, sedangkan anak-anak didaerah pesisir pantai pasti lebih memilih bekerja di pelabuhan atau laut.
Potret pendidikan di pedalaman jarang sekali diliput oleh media, namun jika ditelusri lebih jauh betapa banyak daerah-daerah pedalaman yang sangat terisolasi. Jauhnya leta kondisi geografis dan kurangnya Sumber Daya Manusia menjadi guru membuat hanya sedikit orang-orang yang tergerak hatinya untuk ikut serta dalam memajukan pendidikan di daerah pedalaman.
Ketidakmerataan pembangunan yang hanya berpusat dikota saja, mebuat masyarakat disana juga masih belum tergerak untuk memajukan pendidikan didaerah mereka. Sekolah-sekolah saja belum cukup untuk memaksimalkan proses belajar, jikapun ada sekolah-sekolah itu berada sangat jauh untuk ditempuh oleh siswa. Suatu bangsa akan maju apabila pendidikannya sudah dirasakan oleh seluruh penduduk yang ada di negara itu. Indonesia masih sangat jauh dalam kategori itu. Masih banyak daerah pedalaman yang belum dirangkul oleh pemerintah. 
Hal ini membuat pemerintah seharusnya semakin bekerja keras dalam memajukan pendidikan di pedalaman. Anak-anak dipedalaman juga bagian asset besar untuk masa depan negara kedepannya. Memang di negeri ini tengah berlangsung proses kemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu meskipun miskin, orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin masih berani bermimpi. Sebab dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpinya. 
Tidak heran kalau dulu banyak anak dari keluarga miskin berhasil meraih pendidikan tinggi. Tapi sekarang sekadar bermimpi bisa menyekolahkan anak sampai SMA saja mereka sudah tidak berani. Realitas di sekeliling mereka mengajarkan anak-anak miskin yang nekat menerobos masuk ke jenjang SMA berakhir dengan putus sekolah. 
Dalam memajukan pendidikan dipedalaman dibutuhkan kerjasama dari seluruh masyarakat khusus nya instansi pemerintah, dalam hal si pembuat kebijakan untuk saling bersinergi dalam meberantas kebodohan. Memberikan persenan anggaran lebih besar ke daerah-daerah pedalaman khusunya dalam bidang pendidikan. Pemerintah membuat kebijakan utuk tetap membuat program-program “mengajar ke pedalaman”, seperti program SM3T, dan program social lainnya.
Peran Media juga berpengaruh penting dalam menyajikan informasi mendidik bagi masyarakat, walaupun itu masyarakat perkotaan yang sudah meraskan pendidikan. Media sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi masyarakat terkhusus anak-anak yang mudah terkena pengaruh.  Peran Mahasiswa juga sangat dibutuhkan, artinya semua elemen di masyarakat mempunyai peran meraka masing-masing dalam mengambil andil dan ikutserta memajukan pendidikan. Mahasiswa lebih sering mengkaji isu-isu social terutama kemerosotan pendidikan di masyarakat kota dan sering melakukan kegiatan mengajar kedaerah pedalaman. Jika semua elemen melakukan fungsinya dengan baik, pasti pendidikan dipedalaman dapat dimajukan dengan perlahan.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 45 pasal 31: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Makna dari Pasal 31 UUD 1945 tersebut adalah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa kecuali. Pada kenyataannya, dengan kondisi negara Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, mulai Sabang sampai Merauke, kita dihadapkan dengan berbagai permasalahan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Padahal pendidikan merupakan faktor utama dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka akan semakin baik sumber daya manusia yang ada, dan pada akhirnya akan semakin tinggi pula daya kreatifitas pemuda Indonesia dalam mengisi pembangunan sebuah bangsa. Namun di Indonesia, untuk mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas sesuai dengan standar nasional saja masih sangat sulit.
Berbagai permasalahan seringkali menghambat peningkatkan mutu pendidikan nasional, khususnya di daerah tertinggal atau terpencil, yang pada akhirnya mewarnai perjalanan pendidikan di Indoensia. Di suatu daerah terpencil masih banyak dijumpai kondisi di mana anak-anak belum terlayani pendidikannya. Angka putus sekolah yang masih tinggi. Juga masalah kekurangan guru, walaupun pada sebagain daerah, khususnya daerah perkotaan persediaan guru berlebih. Sarana dan prasarana yang belum memadai. Itulah sederat fakta-fakta yang menghiasai wajah pendidikan kita di daerah terpencil.
Terkait dengan masalah pemenuhan tenaga pendidik, pemerintah kita (melalui dinas pendidikan) sebenarnya secara khusus telah berusaha melakukan pemenuhan melalui penempatan guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru yang ditempatkan di daerah tertinggal atau terpencil. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru yang enggan mengajar di daerah terpencil dengan beragam alasan. Fakor yang menyebabkan keengganan para guru untuk mengajar di daerah terpencil atau tertinggal adalah letak sekolah yang sulit dijangkau. Alasan berikutnya adalah minimnya fasilitas dan hiburan. Di Indonesia, pada umumnya guru yang mengajar di daerah terpencil tidak betah dikarenakan fasilitas yang tidak memadai. Selain jauh dari pusat keramaian, fasilitas tempat tinggal guru juga tidak dipenuhi oleh pemerintah. Akibatnya banyak guru yang merasa tidak nyaman dan mengajukan pindah ke sekolah yang berada di perkotaan.
Dengan adanya berbagai permasalahan penyelenggaran pendidikan di daerah tertinggal atau terpencil, seharusnya masalah pelayanan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat luas, melalui berbagai organisasi kemasyarakatan, NGO, dan organisasi lainnya bisa ikut terlibat dalam membantu mengatasi berbagai kekurangan layanan pendidikan di daerah terpencil.
Program-program pemberdayaan serta pengembangan kapasistas dan kompetensi guru, penyediaan sarana prasarana pendidikan, dan lain sebagainya adalah program-program yang bisa dilakukan untuk membantu ketertinggalan pendidikan anak-anak Indonesia di daerah tertinggal atau terpencil.
Berikut merupakan Potret pendidikan di pedalaman SD di kampung mosun di papua barat SD ini kondisinya lebih baik daripada SD di 2. Ada 4 tenaga guru yang mengajar di sana, terdiri dari kepala sekolah, 2 guru tetap dan satu guru honorer. Kepala sekolah dan guru semuanya asli anak kampung setempat. Ruang kelas juga ada 6, jadi setiap rombongan belajar menempati satu ruang kelas.
Meski sudah ada 4 tenaga guru, tapi tetap saja guru dirasa kurang. Kepala sekolah sendiri mengajar 3 kelas, kelas 1,2 dan 3. Itulah mengapa ruangan di kelas 1,2 dan 3 dibuat tanpa sekat. Dengan cara demikian, guru bisa dengan mudah mengawasi dan pergi dari satu kelas ke kelas yang lain.
Berbeda dengan 2 SD yang terdahulu, kepala sekolah di SD ini lebih punya komitmen dan dedikasi terhadap pendidikan. Ini yang membuat kepala sekolah mengambil tanggung jawab untuk mengajar kelas 1,2 dan 3 yang menurutnya lebih butuh perhatian. Dengan mengambil 3 kelas pertama, kepala sekolah di SD ini punya target. Siswa yang duduk di kelas 4 sudah lancar membaca.
Meskipun jumlah guru relatif mencukupi dibandingkan SD di 2 kampung lainnya. Bukan berarti tidak ada lagi masalah di SD ini. Seperti 2 SD sebelumnya, SD di sini juga menghadapi kendala ketiadaan buku paket untuk para siswa. Sebenarnya ada dana BOS yang bisa dipakai untuk beli buku.
Namun pada kenyataannya dana BOS tidak mencukupi untuk beli buku. Pemberian dana BOS itu sendiri tidak memperhitungkan besarnya transportasi untuk pembelian perlengkapan belajar mengajar. Padahal membeli perlengkapan itu harus ke kota dan biaya transportasi mahal sekali. Sekali jalan Rp 350.000.
Guru SD tidak mendapatkan fasilitas transportasi yang memudahkannya dalam menjalankan tugas. Sementara dalam dana BOS juga tidak ada komponen untuk membiayai transportasi guru untuk keperluan dinas. Jadi kalau ada keperluan dinas di kabupaten, guru harus membiayai sendiri transportasinya.
Sebelum ada dana BOS, kepala sekolah, guru dan masyarakat di kampung ini bergotong royong membayar guru honorer. Bahkan kepala sekolah dan guru di SD ini secara sukarela menyerahkan gajinya Rp 50.000–Rp 100.000 setiap bulan untuk membayar gaji guru honorer.
Padahal gaji kepala sekolah hanya Rp 2 juta dan setelah dipotong macam-macam. Setiap bulan gajinya tinggal tersisa Rp 1 juta untuk membiayai hidup keluarganya. Tingkat kesejahteraan guru SD sangat rendah.
Selain gaji yang tidak mencukupi, sudah 11 bulan lebih guru belum terima jatah beras, uang lauk pauk dan insentif. Tidak heran kalau guru juga harus berkebun dan mencari tambahan penghasilan guna menutupi kekurangan. Fasilitas untuk tempat tinggal guru juga tidak ada. Para guru masih numpang tinggal pada warga.
Itulah sepenggal cerita dari potret pendidikan di pedalaman.




Komentar